Banjir kanal timur, Sejumlah eskavator melakukan penggalian proyek Banjir Kanal Timur di Pondok Kopi, Jakarta, beberapa waktu lalu. BPPT menilai keberadaan cek dam lebih efektif mengatasi banjir yang masih mengancam Jakarta.
Pembangunan cek dam, dam parit ,situ, serta embung yang cukup banyak dan tersebar di bagian hulu dinilai memiliki manfaat lebih untuk mengurangi banjir Jakarta.
BANJIR. Bencana alam yang satu itu seakan tak pernah bisa lepas menghantui penduduk Jakarta. Kota yang bagi sebagian orang dianggap mampu menawarkan sejuta harapan ini belum bisa lepas dari ‘hantu’ banjir. Banjir di Jakarta sesungguhnya merupakan masalah yang sudah ada sejak zaman Kolonial Belanda.
Namun dalam perkembangannya, banjir justru semakin besar, baik intensitas, frekuensi, maupun distribusinya. Sejarah mencatat, Jakarta pernah dihantam banjir besar pada 1621, 1654, 1918, 1942, 1976,1996,2002,dan 2007. Banjir yang terjadi pada Sabtu (13/2) pekan lalu semakin menegaskan posisi Jakarta yang rentan.
Kerawanan Jakarta akan bencana banjir disebabkan keberadaannya yang secara geografis terletak di dataran rendah. Bahkan, sebagian wilayah Jakarta lebih rendah dari permukaan laut. Selain itu, Jakarta dilalui 13 sungai yang semuanya bermuara di Teluk Jakarta.Ke-13 sungai yakni Mookervart, Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Kalibaru Barat, Ciliwung, Kalibaru Timur, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung disadari atau tidak punya kontribusi terhadap bencana banjir Jakarta.
Apalagi fungsi dan peranan sungai-sungai tersebut terus berkurang seiring dengan pencemaran yang terjadi. Sampah-sampah yang dihasilkan oleh warga Jakarta berkontribusi terhadap terhambatnya aliran sungai. Menurunnya kemampuan ke-13 sungai di Jakarta untuk mengalirkan air menyebabkan kemampuan mengaruskan debit banjir dari sungai dan kanal yang ada sangat jauh dari rencana.
Perhitungan debit banjir sungai-sungai yang masuk ke Jakarta menunjukkan adanya kenaikan 50% dari perhitungan pola induk 1973 dalam periode 25 tahun. Sungai-sungai utama yang ada saat ini kapasitas pengalirannya berada jauh di bawah debit rencana yang mengakibatkan sungaisungai mudah meluap. Ironisnya, di tengah berkurangnya kemampuan sungai-sungai Jakarta dalam mengatasi banjir semakin diperparah dengan fakta bahwa wilayah Jakarta tidak bisa secara mutlak dibebaskan dari banjir.
Ada beberapa sebab wilayah Ibu Kota ini tak bisa secara mutlak keluar dari persoalan banjir. Pertama, dataran banjir (flood plain) seluas 24.000 hektare yang berada di utara Jakarta ternyata telah berkembang luar biasa untuk permukiman dan industri. Kedua, upaya pemerintah Ibu Kota Jakarta menciptakan sistem drainase yang mumpuni untuk mengendalikan bencana banjir ternyata belum berjalan optimal.
Sistem pengendali banjir di Jakarta saat ini dibangun untuk banjir rencana 3–100 tahun dan sistem drainasenya 2–10 tahun. Artinya, jika debit air lebih besar dari banjir rencana tersebut maka dipastikan air akan meluap. Dan ternyata, kondisi eksisting saat ini jauh sekali dari banjir rencana yang ada.
Peristiwa banjir kiriman dari Bogor, Sabtu (13/2), menjadi salah satu bukti bahwa kinerja sistem pengendalian banjir Jakarta belum berjalan optimal.Padahal, dilihat dari tebal curah hujan tahun ini, lebih kecil jika dibandingkan dengan curah hujan 1996, 2002, 2007, 2008, di mana saat itu wilayah Jakarta dilanda banjir cukup besar.
Solusi Banjir
Beragam langkah sebenarnya telah dan akan dilakukan Pemerintah Provinsi (pemprov) Jakarta guna mengatasi banjir di wilayahnya. Pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) menjadi salah satunya. Yang terbaru, Pemprov Jakarta tengah mengkaji untuk merealisasikan pembangunan Waduk Ciawi di hulu Sungai Ciliwung untuk mengatasi banjir di Ibu Kota.
Waduk yang rencananya dibangun di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, di atas lahan seluas 204 hektare tersebut diharapkan mampu menampung volume sebesar 10 juta meter kubik air. Dana yang dipersiapkan mencapai Rp1,5 triliun. Namun, menurut Kepala Bidang Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sutopo Purwo Nugroho, pembangunan waduk tersebut dinilai bukan sebagai solusi tepat mengatasi banjir Jakarta.
Ada beberapa hal yang harus dikaji dari rencana tersebut seperti aspek kemanfaatan, keamanan, dan tentu saja dana. Sutopo mengatakan, dari segi kemanfaatan, jika waduk itu jadi dibangun, akan berkontribusi mengurangi banjir Jakarta hanya sekitar 1%. Itu sangat jauh dari dana yang dihabiskan.
Ditambahkan Sutopo, manfaat tersebut jika dibandingkan dengan pembangunan waduk lainnya, seperti Waduk Jatigede di Sumedang juga sangat jauh. Waduk Jatigede yang dibangun di atas lahan 4.000 hektare memiliki kemampuan menampung air hingga 1 miliar meter kubik. Waduk Jatigede juga mampu menyediakan kebutuhan air bagi masyarakat sebesar 3.500 liter/ detik.
Waduk Jatigede disebutkan juga memiliki kemampuan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) terpasang 106 MW. ”Dengan manfaat seperti itu, pembangunan Waduk Jatigede hanya butuh dana Rp2,1 triliun. Bandingkan dengan rencana pembangunan Waduk Ciawi dari segi manfaat dan biaya,”ujar Sutopo dalam Contact konferensi pers tentang Evaluasi Banjir Jakarta 2010 dan Sistem Pengendaliannya kemarin.
Selain itu, dari segi keselamatan rencana pembangunan Waduk Ciawi perlu mendapat kajian. Peristiwa jebolnya tanggul Situ Gintung yang bak tsunami kecil bagi warga di sekitarnya menjadi catatan penting. Belum lagi wilayah Jakarta yang rawan gempa. Wilayah Jakarta dapat terkena imbas gempa dari Selat Sunda, Samudera Hindia, hingga sesarsesar daratan (Cimandiri, Baribis, Lembang).
”Aspek keselamatan juga menjadi pertimbangan, mengingat pembangunannya di wilayah hulu Jakarta,”tutur Sutopo. Menimbang beberapa aspek kurang menguntungkan tersebut, Sutopo menyebutkan, pembangunan cek dam, dam parit, situ, dan embung yang cukup banyak dan tersebar di bagian hulu Jakarta dinilai justru memiliki manfaat.
”Saya kira pembangunan cek dam dan sejenisnya memiliki manfaat yang lebih ketimbang waduk. Selain biaya yang lebih murah,cek dam bisa dibangun tanpa terlalu memerhatikan aspek topografi,” ungkap Sutopo. Menurut Sutopo, pembangunan cek dam dengan sebaran dan jumlah yang memadai akan membantu mengatasi persoalan banjir Jakarta.
Selain itu, pembangunan cek dam dan sejenisnya juga memiliki manfaat untuk memenuhi kebutuhan air warga Jakarta dan sekitarnya, entah itu untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian. Pembangunan cek dam juga tidak membutuhkan dana besar, seperti pembangunan BKT atau waduk.
Dengan kapasitas volume air antara 5.000–10.000 meter kubik biaya yang dibutuhkan untuk membangun cek dam antara Rp200–500 juta. BPPT, kata Sutopo, lebih mendorong pembangunan cek dam sejenisnya ketimbang pembangunan waduk untuk mengatasi banjir Jakarta. Terkait sumber daya yang diperlukan, Sutopo mengatakan, banyak SDM Indonesia yang mampu menanganinya.
Pembangunan cek dam, dam parit ,situ, serta embung yang cukup banyak dan tersebar di bagian hulu dinilai memiliki manfaat lebih untuk mengurangi banjir Jakarta.
BANJIR. Bencana alam yang satu itu seakan tak pernah bisa lepas menghantui penduduk Jakarta. Kota yang bagi sebagian orang dianggap mampu menawarkan sejuta harapan ini belum bisa lepas dari ‘hantu’ banjir. Banjir di Jakarta sesungguhnya merupakan masalah yang sudah ada sejak zaman Kolonial Belanda.
Namun dalam perkembangannya, banjir justru semakin besar, baik intensitas, frekuensi, maupun distribusinya. Sejarah mencatat, Jakarta pernah dihantam banjir besar pada 1621, 1654, 1918, 1942, 1976,1996,2002,dan 2007. Banjir yang terjadi pada Sabtu (13/2) pekan lalu semakin menegaskan posisi Jakarta yang rentan.
Kerawanan Jakarta akan bencana banjir disebabkan keberadaannya yang secara geografis terletak di dataran rendah. Bahkan, sebagian wilayah Jakarta lebih rendah dari permukaan laut. Selain itu, Jakarta dilalui 13 sungai yang semuanya bermuara di Teluk Jakarta.Ke-13 sungai yakni Mookervart, Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Kalibaru Barat, Ciliwung, Kalibaru Timur, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung disadari atau tidak punya kontribusi terhadap bencana banjir Jakarta.
Apalagi fungsi dan peranan sungai-sungai tersebut terus berkurang seiring dengan pencemaran yang terjadi. Sampah-sampah yang dihasilkan oleh warga Jakarta berkontribusi terhadap terhambatnya aliran sungai. Menurunnya kemampuan ke-13 sungai di Jakarta untuk mengalirkan air menyebabkan kemampuan mengaruskan debit banjir dari sungai dan kanal yang ada sangat jauh dari rencana.
Perhitungan debit banjir sungai-sungai yang masuk ke Jakarta menunjukkan adanya kenaikan 50% dari perhitungan pola induk 1973 dalam periode 25 tahun. Sungai-sungai utama yang ada saat ini kapasitas pengalirannya berada jauh di bawah debit rencana yang mengakibatkan sungaisungai mudah meluap. Ironisnya, di tengah berkurangnya kemampuan sungai-sungai Jakarta dalam mengatasi banjir semakin diperparah dengan fakta bahwa wilayah Jakarta tidak bisa secara mutlak dibebaskan dari banjir.
Ada beberapa sebab wilayah Ibu Kota ini tak bisa secara mutlak keluar dari persoalan banjir. Pertama, dataran banjir (flood plain) seluas 24.000 hektare yang berada di utara Jakarta ternyata telah berkembang luar biasa untuk permukiman dan industri. Kedua, upaya pemerintah Ibu Kota Jakarta menciptakan sistem drainase yang mumpuni untuk mengendalikan bencana banjir ternyata belum berjalan optimal.
Sistem pengendali banjir di Jakarta saat ini dibangun untuk banjir rencana 3–100 tahun dan sistem drainasenya 2–10 tahun. Artinya, jika debit air lebih besar dari banjir rencana tersebut maka dipastikan air akan meluap. Dan ternyata, kondisi eksisting saat ini jauh sekali dari banjir rencana yang ada.
Peristiwa banjir kiriman dari Bogor, Sabtu (13/2), menjadi salah satu bukti bahwa kinerja sistem pengendalian banjir Jakarta belum berjalan optimal.Padahal, dilihat dari tebal curah hujan tahun ini, lebih kecil jika dibandingkan dengan curah hujan 1996, 2002, 2007, 2008, di mana saat itu wilayah Jakarta dilanda banjir cukup besar.
Solusi Banjir
Beragam langkah sebenarnya telah dan akan dilakukan Pemerintah Provinsi (pemprov) Jakarta guna mengatasi banjir di wilayahnya. Pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) menjadi salah satunya. Yang terbaru, Pemprov Jakarta tengah mengkaji untuk merealisasikan pembangunan Waduk Ciawi di hulu Sungai Ciliwung untuk mengatasi banjir di Ibu Kota.
Waduk yang rencananya dibangun di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, di atas lahan seluas 204 hektare tersebut diharapkan mampu menampung volume sebesar 10 juta meter kubik air. Dana yang dipersiapkan mencapai Rp1,5 triliun. Namun, menurut Kepala Bidang Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sutopo Purwo Nugroho, pembangunan waduk tersebut dinilai bukan sebagai solusi tepat mengatasi banjir Jakarta.
Ada beberapa hal yang harus dikaji dari rencana tersebut seperti aspek kemanfaatan, keamanan, dan tentu saja dana. Sutopo mengatakan, dari segi kemanfaatan, jika waduk itu jadi dibangun, akan berkontribusi mengurangi banjir Jakarta hanya sekitar 1%. Itu sangat jauh dari dana yang dihabiskan.
Ditambahkan Sutopo, manfaat tersebut jika dibandingkan dengan pembangunan waduk lainnya, seperti Waduk Jatigede di Sumedang juga sangat jauh. Waduk Jatigede yang dibangun di atas lahan 4.000 hektare memiliki kemampuan menampung air hingga 1 miliar meter kubik. Waduk Jatigede juga mampu menyediakan kebutuhan air bagi masyarakat sebesar 3.500 liter/ detik.
Waduk Jatigede disebutkan juga memiliki kemampuan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) terpasang 106 MW. ”Dengan manfaat seperti itu, pembangunan Waduk Jatigede hanya butuh dana Rp2,1 triliun. Bandingkan dengan rencana pembangunan Waduk Ciawi dari segi manfaat dan biaya,”ujar Sutopo dalam Contact konferensi pers tentang Evaluasi Banjir Jakarta 2010 dan Sistem Pengendaliannya kemarin.
Selain itu, dari segi keselamatan rencana pembangunan Waduk Ciawi perlu mendapat kajian. Peristiwa jebolnya tanggul Situ Gintung yang bak tsunami kecil bagi warga di sekitarnya menjadi catatan penting. Belum lagi wilayah Jakarta yang rawan gempa. Wilayah Jakarta dapat terkena imbas gempa dari Selat Sunda, Samudera Hindia, hingga sesarsesar daratan (Cimandiri, Baribis, Lembang).
”Aspek keselamatan juga menjadi pertimbangan, mengingat pembangunannya di wilayah hulu Jakarta,”tutur Sutopo. Menimbang beberapa aspek kurang menguntungkan tersebut, Sutopo menyebutkan, pembangunan cek dam, dam parit, situ, dan embung yang cukup banyak dan tersebar di bagian hulu Jakarta dinilai justru memiliki manfaat.
”Saya kira pembangunan cek dam dan sejenisnya memiliki manfaat yang lebih ketimbang waduk. Selain biaya yang lebih murah,cek dam bisa dibangun tanpa terlalu memerhatikan aspek topografi,” ungkap Sutopo. Menurut Sutopo, pembangunan cek dam dengan sebaran dan jumlah yang memadai akan membantu mengatasi persoalan banjir Jakarta.
Selain itu, pembangunan cek dam dan sejenisnya juga memiliki manfaat untuk memenuhi kebutuhan air warga Jakarta dan sekitarnya, entah itu untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian. Pembangunan cek dam juga tidak membutuhkan dana besar, seperti pembangunan BKT atau waduk.
Dengan kapasitas volume air antara 5.000–10.000 meter kubik biaya yang dibutuhkan untuk membangun cek dam antara Rp200–500 juta. BPPT, kata Sutopo, lebih mendorong pembangunan cek dam sejenisnya ketimbang pembangunan waduk untuk mengatasi banjir Jakarta. Terkait sumber daya yang diperlukan, Sutopo mengatakan, banyak SDM Indonesia yang mampu menanganinya.
0 Response to "Cek Dam Solusi Banjir Jakarta"
Post a Comment