Peran Kelompok G-20 Dipertanyakan

Lima bulan setelah kelompok 20 (G-20) mengambil alih peran ekonomi global, pakar menanyakan apakah kelompok itu bisa menjawab tantangan keluar dari krisis keuangan. Negara industri dan berkembang telah berupaya menanggulangi krisis keuangan terburuk dalam dekade belakangan. Pelemahan telah mereda, tapi G-20 menghadapi tantangan untuk mewujudkan sistem keuangan global baru, melonjaknya utang, dan tahapan keseimbangan kekuatan dunia. “G-20 telah berhasil mengatasi krisis dalam waktu yang pendek, tapi pertanyaan besarnya apakah mereka mampu bergerak dari mode krisis,” tanya mantan direktur Bank Dunia Uri Dadush dalam forum “Bagaimana Kondisi G-20 di 2050?”di Washington,Selasa (23/2).

Saat ini, para pakar mencemaskan kemampuan G-20 dalam mengatasi krisis utang luar negeri.Kasus perjuangan Yunani untuk menekan melonjaknya pembiayaan anggaran belanja telah membuat negara itu terbelit utang besar. Masalah serupa juga dialami Islandia dan Dubai. ”Masalah ini tidak terbatas pada satu perekonomian negara, tetapi melibatkan pemain-pemain besar,”tambah Dadush. Melonjaknya utang Yunani menggambarkan meningkatnya masalah negara-negara besar di Eropa.“Di lain pihak, Amerika Serikat (AS) dan Jepang juga menghadapi masalah utang luar negeri yang sudah menumpuk,” ujar beberapa analis.

G-20 mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama pada 2008 di Washington. KTT digelar setelah AS mengalami kejatuhan hipotek yang mengakibatkan tsunami krisis keuangan ke seluruh penjuru dunia. Satu tahun kemudian, terjadi perpindahan kekuasaan ekonomi global. Anggota G-20 memutuskan menjadi forum pemimpin negara menggantikan kelompok delapan (G-8) yang sebelumnya menguasai ekonomi dunia. G-8 yang merupakan kelompok negara maju terdiri dari Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Rusia, dan AS. Dengan beralihnya kekuasaan G-8 ke G-20, beberapa negara berkembang dan maju masuk dalam lingkaran kekuasaan ekonomi global.

Negara-negara itu meliputi, Argentina, Australia, Brasil, China, Indonesia, Korea Selatan,Meksiko, Arab Saudi, Afrika Selatan,Turki, dan Uni Eropa (UE). G-20 mewakili 90% produk domestik bruto (PDB) dunia, 80% perdagangan dunia, dan dua per tiga populasi global. Sebelum itu, pemimpin G-20 telah meminta Dewan Stabilitas Keuangan (FSB) dan Komite Basel Perbankan menyiapkan konseli reformasi perbankan global. Reformasi dibutuhkan untuk mencegah ambruknya sektor keuangan akibat krisis baru. Regulator di dunia, menginginkan mengimplementasikan aturan baru pada 2012, meminta perkuatan aturan pada modal perbankan dan dana ekuitas swasta (private equity fund).

Regulator juga meminta pembatasan utang dan restrukturisasi besarbesaran pada bank besar yang menghadapi kebangkrutan. Namun, beberapa anggota G- 20, seperti China belum memiliki dana terbuka. Padahal, China merupakan pemain utama di pasar modal global karena memiliki cadangan devisa terbesar di dunia. “Isu utama yang dihadapi FSB adalah bagaimana menghubungkan Contact sistem keuangan di negara-negara dengan modal terbuka dan menerapkan nilai tukar mata uang mengambang, tapi China belum bisa melakukan hal itu,” tandas Pieter Bottelier, Profesor studi China dari Universitas Johns Hopkins. Menurut dia, China merasa sudah menerapkan keterbukaan atas aturan keuangan baru.

Di China daratan, ada desakan agar ada peningkatan kekuatan negara berkembang di Dana Moneter Internasional (IMF).“Mereka meminta negara berkembang diberi hak suara 5% di IMF,” papar Bottelier. Dalam hitungan konservatif, negara berkembang sebenarnya mendominasi 40% ekonomi global. Dominasi negara berkembang terjadi di jumlah populasi, tingkat produksi, aliran perdagangan, aliran dana, jumlah kelas menengah, konsumsi energi, dan penghasil emisi karbon. Pada tahun 2050, empat dari enam negara dengan perekonomian terbesar di dunia akan diduduki negara berkembang.

Namun, negara maju masih jauh lebih kaya dibandingkan negara berkembang. Ekonom meramalkan, PDB China dalam 20 tahun mendatang akan menyamai AS. “Negara-negara besar yang telah menguasai sistem global dalam 200 tahun belakangan mungkin sudah digantikan oleh negaranegara berkembang,”ungkap mantan Duta Besar AS untuk Rusia James Collin. Colin meragukan kemampuan negara-negara di Eropa untuk menggabungkan kekuatan ekonomi mereka.“Ini akan menimbulkan beberapa guncangan, baik secara institusi maupun politik,”paparnya. Menghadapi era baru,staf Menteri Keuangan AS Tim Adams mengkhawatirkan nasib Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan keamanan maritim global.

Perlindungan jalur laut yang digunakan untuk mengangkut sumber daya untuk pertumbuhan di negara berkembang diprediksi menimbulkan masalah.“Saya juga khawatir bagaimana kedua belah pihak (AS dan China) akan menjaga keharmonisan hubungan mereka,”paparnya.

0 Response to "Peran Kelompok G-20 Dipertanyakan"